Senin, 28 April 2008

Kartini Masih Tersenyum

Saat ini bukan zamannya lagi untuk tarik-ulur urat leher untuk memperjuangkan emansipasi dan martabat wanita. Martabat kaum hawa itu telah terangkat. Berkat avant-garde bernama R. A. Kartini. Namun kini martabat wanita yang sudah terangkat itu seolah menjadi bumerang. Karena terangkat, tanpa memiliki tempat.

“IBU KITA KARTINI PUTERI SEJATI, PUTERI INDONESIA, HARUM NAMANYA.....”, sebuah penggalan lagu nasional yang kini makin kehilangan gemanya. Ungkapan manis puteri sejati, puteri Indonesia, dan harum namanya, mungkin hanya sebuah lirik manis yang kini berubah menjadi sinis. Kini ada istilah perempuan nakal, perempuan jalang, wanita penghibur, wanita tunasusila dan istilah negatif lainnya yang memojokkan wanita. Kalau Cut Nyak Dien, Cut Mutya, dan Ibu Kartini masih hidup, mungkin mereka akan menangisi predikat kaumnya yang hitam berjelaga seperti itu. Atau mungkin Cut Nyak Dien dan Cut Mutya masih akan angkat senjata melawan penjajah martabat kaumnnya.

Hari Kartini yang kini diperingati sebagai hari kebaya nasional baru saja berlalu. Namun tak meninggalkan jejak, aroma, rasa atau pengaruh apapun. Di kampus UNJ tercinta pun hari Kartini hanya diperingati sebagai hari Senin yang sibuk dan penat. Tanpa peringatan dan pengingatan makna lahirnya pejuang emansipasi wanita itu. Ibu Kartini memang tak pernah minta diingat. Namun kita semua sadar, berkat upayanya, kini wanita tak hanya dapat bermain api di dapur. Emansipasi membawa wanita pada tingkat maksimal pemberdayaan kualitas diri seperti apa yang dikehendakinya. Namun emansipasi juga dijadikan tameng baja bagi wanita yang berani bermain api di luar dapur (:-D). Apapun yang terjadi, toh R. A. Kartini dan beberapa pahlawan lainnya masih tersenyum manis dalam lembaran rupiah. (GO)

Selasa, 22 April 2008

Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai Ladang inspirasi

-Aku mencintai Kamus Besar Bahasa Indonesia-
Jargon di atas seperti sebuah klausa klasik promosi suatu produk. Saya memang sangat menjunjung tinggi keberadaan kamus tebal nan mahal bernama Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang disingkat menjadi KBBI. (orang Indonesia—termasuk saya, memang gemar menyingkat-nyingkat sebuah klausa, frasa, bahkan kata)
1381 halaman dalam KBBI memberikan saya sebuah dunia kecil yang kompleks. Berbagai macam kata dalam berbagai konsep pemikiran dan ilmu ada di sana (bila tak lengkap itu wajar karena dosen leksikografi saya (Abdul Chaer) mengatakan bahwa memang tak kan pernah ada kamus yang 100% lengkap).
-Memberikan inspirasi-
Sering kali kita susah untuk merangkai kalimat pertama sebuah tulisan. Tak jarang juga mengalami kebuntuan saat menulis. Otak seperti membutuhkan rangsangan untuk mereproduksi inspirasi. KBBI bisa menjadi katalisator stimulan tersebut.
Kita bisa memulainya dengan membuka halaman KBBI secara acak dan membaca-baca deretan katanya. Santai, tapi mendalam. Biasanya saya akan menemukan beberapa kata inspiratif, bahkan menemukan kata-kata yang tak akrab di telinga, namun ternyata merupakan kata asli Indonesia. Terlebih bila menemukan kata kata berlaber ark. Ark adalah sebuah singkatan dari kata arkais. Artinya kata tersebut sudah tidak lazim digunakan karena sudah dianggap punah atau mati. Namun, kata-kata arkais ini sangat Indonesia, sangat melayu, tanpa jamahan produk asing.

Selasa, 08 April 2008

Indahnya Perbedaan

mari kita berandai-andai;

Bila kamu disodorkan dua pilihan, yakni ‘sekotak perbedaan’ dan ‘sekotak persamaan’, mana yang akan kamu pilih?

Bila kamu pilih ‘sekotak persamaan’, kamu akan dapatkan dunia ini menjadi satu wajah. Mungkin wajahnya sama seperti wajahmu. Dan mungkin bukan hanya wajahnya yang sama, tapi sifat, prilaku, agama, kegemaran, dan hal lainnya juga sama sepertimu. Kira-kira apa ya yang akan terjadi bila dunia ini seperti itu? Pasti bosan, bertemu dengan orang yang sama setiap detiknya dan mengalami hal yang sama setiap waktu.

Bila kamu pilih ‘sekotak perbedaan’, kamu akan dapatkan dunia seperti dunia yang sedang kita jalani kini. Dunia yang penuh sesak dengan perbedaan, dunia yang sarat akan konflik, dunia yang penuh tawa dan tangis, dan dunia yang tidak pernah sama tiap detiknya.

Bila benar-benar disuruh memilih, tentu kita akan memilih ‘sekotak perbedaan’. Itu berarti kita telah hidup di dunia pilihan kita. Dunia pilihan kita memang penuh sesak dengan perbedaan. Namun terlalu bodoh bila perbedaan yang ada itu diseragamkan. Perbedaan itu indah, bagaimana tidak; karena perbedaan anak manusia dapat lahir, karena perbedaan manusia dapat berkembang, karena perbedaan manusia didewasakan, dan karena perbedaan pula manusia-manusia seperti kita disatukan dalam KMK.

Perbedaan tentu bukan suatu masalah yang harus diselesaikan. Bukan juga momok yang perlu diperdebatkan. Perbedaan hanyalah suatu seni kehidupan yang harus dilestarikan. Ketika kita merasa terdesak oleh perbedaan, itulah seni dalam hidup. Bayangkan saja bila tak pernah ada perbedaan. Semua akan datar saja. Seakan hidup hanya untuk menyaksikan matahari benar-benar terbit dari timur dan tenggelam di barat. (GO)


diterbitkan dalam buletin bulanan KMK sacra familia UNJ

Senin, 07 April 2008

Natal bersama Keluarga Kudus

Natal mungkin bukan sebuah peristiwa penting bagi sebagian besar penghuni kampus hijau ini. Namun bagi kita umat Katolik, Natal adalah peristiwa penting dan indah. Bahkan jauh lebih indah dari hari ulang tahun kita. Natal memang hari yang ditunggu-tunggu oleh seluruh umat Kristiani karena membawa sukacita dan pengharapan yang besar bagi kita semua. Bukan pengharapan akan kado lucu dari Santa Claus tentu, karena makin dewasa kita makin tahu bahwa kita banyak ditipu. Hehe…… Sadar atau tidak, kedewasaan juga membuat kita makin mengeksklusifkan diri sebagai anggota keluarga. Misalnya saat misa di gereja, beberapa dari kita jarang atau mungkin tidak pernah lagi misa bersama dengan orangtua. Padahal inti dari misa adalah bersatu dengan Tuhan dan keluarga.

Teman-teman, Minggu pertama setelah Natal, kita akan merayakan Hari Keluarga Kudus. Keluarga Kudus yang terdiri dari Yosef, Maria, dan Yesus adalah teladan semua keluarga Kristiani. Di dalam Keluarga Kudus kita temukan kesetiaan dan kesederhanaan sebuah keluarga. Apa dua hal itu sudah kita temukan dalam keluarga kita? Semoga sudah.

Perayaan misa Keluarga Kudus tahun ini, bagi Keuskupan Agung Jakarta menjadi sangat penting karena berkaitan dengan tema ibadat Advent “Beriman dan bersaudara seperti saudara kudus”. Penekanannya adalah pada Gereja terkecil yaitu keluarga, yang diajak untuk meneladani iman dan persaudaraan Keluarga Kudus. Yuk! Mari kita juga meneladan Keluarga Kudus!!!(GO)
(Diterbitkan dalam buletin bulanan KMK Sacrafamilia UNJ)

rosolusi baru di tahun baru

Lima...empat...tiga...dua...satu... “SELAMAT TAHUN BARU...”

Ya, itulah yang semua orang katakan di penghujung tahun 2007 lalu. Menghitung mundur angka untuk membuka waktu di tahun yang baru, tahun kabisat.

Tahun baru. Entah apanya yang baru. Toh kita akan melewatkan hari-hari seperti tahun-tahun yang telah lalu. Melewati hari yang terdiri dari 24 jam, melewati minggu terdiri dari tujuh hari, melewati bulan yang terdiri dari empat minggu, dan melewati tahun yang terdiri dari 12 bulan. Memang hanya perputaran waktu seperti itu yang akan kita lalui seumur hidup. Yang penting dan yang baru di tahun ini bukanlah bagaimana angka 7 di tahun 2007 berubah menjadi angka 8 di tahun 2008, tapi bagaimana penambahan kualitas diri kita agar waktu tidak hanya sekedar berlalu.

Setelah melalui 365 hari di tahun 2007, tibalah kita di bulan Januari di tahun 2008. kata ‘Januari’ diambil dari kata “Janus”, dewa bangsa Romawi Kuno yang merupakan dewa pintu dan awal dari segalanya. Ia berwajah dua, satu wajah menghadap ke belakang melambangkan masa lalu, sedangkan yang lainnya menghadap ke depan melambangkan masa depan. Bila dewa Janus memiliki dua wajah, kita yang hanya memiliki satu wajah ini harus menetapkan arah wajah kita. Ke depan atau ke belakang? Tentu ke depan karena wajah kita memang menghadap ke depan. Di depan, 366 hari tengah menunggu untuk kita isi dengan berbagai inovasi, kreasi, semangat baru, dan resolusi baru. Tahun baru adalah waktu yang tepat untuk mewujudkan segala sesuatu yang selama ini hanya menjadi ilusi dan ilustrasi dalam imajinasi menjadi nyata dan ada. (GO)


(diterbitkan dalam buletin bulanan KMK Sacrafamilia UNJ)

MENGOBARKAN PENGORBANAN

Yang tersisa ketika kamu menyingkirkan semua kemungkinan yang ada, itulah kebenaran. Begitu kira-kira kata salah satu tokoh komik detektif. Kata-kata itu juga sangat cocok bila dikaitkan dengan kata pengorbanan. Hal yang tersisa ketika kamu menyingkirkan semua keinginan yang ada, itulah pengorbanan. Pengorbanan memang adalah sisa dari semua rasa. Tak dapat disangkal bahwa kita selalu mengutamakan kepentingan pribadi, baru kemudian orang lain. Hal itu memang manusiawi dan duniawi.

Untungnya, ketika sebagai manusia, Yesus bukanlah manusia konvensional yang manusiawi dan duniawi. Ia rela mengorbankan kehidupannya demi umat manusia. Dihina, disiksa, dan dipermalukan. Semuanya demi kita. Rasanya semua kesedihan dalam hidup kita tak ada artinya bila dibandingkan dengan penderitaan Yesus itu. Beruntungnya kita sebagai umat katolik, karena memiliki teladan yang nyata mengenai pengorbanan. Teladan utama dalam segala segi kehidupan.

Sebagai manusia kita memang memiliki keterbatasan untuk berkorban. Namun itu bukan alasan untuk tidak berkorban. Kalau istilah kasarnya, apa yang terlalu berarti di dalam hidup kita, sehingga kita enggan berkorban sedikit saja bagi sesama? Toh... akhirnya semua yang ada akan binasa. Sebelum pengorbanan itu juga binasa. Mari mengobarkan pengorbanan. Jangan sampai kita mengorbankan pengorbanan atau mengorbankan diri untuk tidak berkorban.

(diterbitkan dalam buletin bulanan KMK Sacra Familia UNJ)

belajar untuk melayani

Kerja keras pencarian dana terbayar sudah. Pelatihan jurnalistik yang kami upayakan sejak lama akhirnya dapat terlaksana.

“Membaca adalah saudara kembar menulis.” Itulah kalimat yang dipatrikan Emanuel Dapa Loka, redaktur bahasa Koran Mingguan Mitra Bangsa dalam pelatihan jurnalistik, 7-9 Maret 2008 lalu. Selain Emanuel Dapa Loka, pemberian materi juga dilakukan oleh Sihol Siagian, Redaktur Pelaksana Majalah Hidup, dan Eko Praptanto, editor senior penerbit Bina Sumber Daya MIPA. Pelatihan di Wisma Jesuit, Cibulan itu diadakan dalam rangka ulang tahun Buletin Warta Servatius yang pertama.

Rm. Sarto membuka kegiatan itu dengan ibadat singkat. Di tengah ibadat, beliau memberi kesempatan pada kami untuk mengungkapkan harapan yang ingin kami capai setelah mengikuti pelatihan ini. Harapan kami sederhana, agar dapat semakin mengembangkan kemampuan menulis untuk memajukan Buletin Warta Servatius. Seluruh anggota redaksi Buletin Warta Servatius memang masih awam dalam dunia jurnalistik. Sehingga pelatihan ini akan menjadi bekal untuk nafas panjang Buletin Warta Servatius.

Walau singkat, banyak ilmu yang kami dapatkan dari para pemateri. Seluk-beluk berita, teknik wawancara, editing, manajemen redaksi, dsb menjadi bahasan kami selama tiga hari. Mati listrik, udara dingin, dan kabut tebal mewarnai pelatihan kami. Namun tak menyurutkan semangat kami untuk belajar hingga malam larut. Belajar, untuk dapat menjadi daya tampung aspirasi, pemberi informasi, pendidikan, dan hiburan bagi umat dengan cara yang edukatif dan kreatif.